Laba (Rugi) Menurut Pajak

Share:

Tidak sedikit perusahaan yang dalam menjalankan usahanya harus menghadapi kenyataan mengalami kerugian, khususnya di awal-awal usaha baru dirintis karena banyaknya biaya yang harus dikeluarkan, atau karena berbagai faktor lainnya. Namun, meski secara laporan keuangan perusahaan mengalami kerugian, bisa jadi dalam pandangan pajak perusahaan justru dikatakan memperoleh laba, atau kerugian yang diperhitungkan secara pajak nilainya lebih kecil dari laporan keuangan perusahaan. Mengapa bisa demikian?

Sebelum kita bahas lebih lanjut, kita akan mengenal terlebih dahulu dua jenis Laporan Laba Rugi, yakni Laporan Laba Rugi secara komersial dan Laporan Laba Rugi secara fiskal.
Laporan Laba Rugi Komersial adalah laporan yang disusun perusahaan berdasarkan pada prinsip akuntansi yang berlaku umum, di Indonesia diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Sementara Laporan Raba Rugi Fiskal adalah laporan yang dibuat untuk menetapkan jumlah penghasilan kena pajak yang penyajiannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pajak yang berlaku.
Satu hal yang perlu diingat bahwa perhitungan laba (rugi) secara komersial dan secara fiskal tidak selalu menghasilkan angka yang sama.

Jika data atau informasi yang digunakan adalah sama, lantas mengapa angka yang disajikan secara komersial dan fiskal berbeda? Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan pengakuan pendapatan maupun biaya menurut perusahaan yang menggunakan Prinsip Akuntansi Berlaku Umum dengan pihak Pajak sesuai dengan UU Perpajakan, sebagai contoh adanya pendapatan maupun biaya yang diakui sebagai pendapatan maupun biaya oleh perusahaan tetapi tidak bisa diakui oleh Pajak.

Secara lebih detail, perbedaan konsep laporan laba rugi komersial dengan laporan laba rugi fiskal terdapat pada:

Konsep Pendapatan atau Penghasilan

Penghasilan (Income) menurut IAI (2007:13), adalah ”Kenaikan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aset atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal”.

Sedangkan, menurut UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 4 Tentang Pajak Penghasilan, “penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun”.
Selanjutnya pajak merinci penghasilan kedalam tiga kategori, yaitu:
1.  Penghasilan yang merupakan objek Pajak Penghasilan
2. Penghasilan yang bukan merupakan objek Pajak Penghasilan
3.  Penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan Final
Dengan adanya tiga kategori penghasilan secara pajak tersebut, maka ada perbedaan konsep penghasilan antara SAK dan Fiskal. Penghasilan yang bukan merupakan objek Pajak Penghasilan berarti penghasilan tersebut tidak akan akan dikenakan pajak.

Konsep Beban

Menurut IAI (2007:13) beban diartikan sebagai “Penurunan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar atau berkurangnya aktiva atau adanya kewajiban sehingga menyebabkan turunnya ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam modal.

Sedangkan secara fiskal, beban didefinisikan sebagai biaya untuk menagih, memperoleh, dan memelihara penghasilan (Biaya 3M) atau biaya yang berhubungan langsung dengan perolehan penghasilan. Sehingga dengan adanya prinsip Biaya 3M ini, tidak semua biaya dapat diakui sebagai pengurang penghasilan bruto, meskipun biaya tersebut digunakan untuk operasional perusahaan. Itulah sebabnya mengapa dalam perhitungan laba rugi fiskal biaya dikelompokan menjadi dua, yaitu biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible expense) dan biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (non-deductible expense). 

Konsep Persediaan

Secara akuntansi ada 3 jenis metode yang dilakukan untuk menilai persediaan yaitu :

  • FIFO (First in, First out),
  • Rata-rata tertimbang (Weight Average Cost Method)
  • LIFO (Last in, First out)

Sementara itu menurut undang-undang pajak penghasilan Indonesia, persediaan dan pemakaian persediaan untuk menghitung harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan (cost) yang dilakukan dengan metode rata-rata (average) atau dengan metode mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama yang dikenal dengan first in first out (FIFO). Penggunaan metode tersebut harus dilakukan secara konsisten. Metode LIFO tidak diperbolehkan untuk digunakan pada perhitungan laba rugi fiskal dikarenakan perhitungan dengan metode LIFO membuat nilai pajak terutang menjadi lebih kecil.

Konsep Penyusutan
Menurut IAI (2007) Akuntansi memiliki beberapa metode penyusutan yaitu:
1. Metode garis lurus (Straight line method) yaitu, menghasilkan pembebanan yang tetap selama umur manfaat asset jika dinilai residunya tidak berubah.

2. Metode Saldo Menurun (diminishing balance method) yaitu, menghasilkan pembebanan yang menurun selama umur manfaat asset.

3. Metode Jumlah Unit (sum of the unit method), yaitu menghasilkan pembebanan yang menurun selama umur manfaat asset.

Sedangkan dalam UU No 36 tahun 2008 pasal 11 tentang Pajak Penghasilan, metode penyusutan hanya ada dua, yaitu garis lurus (straight line method) dan saldo menurun (double declining balanced method). Khusus untuk aktiva bangunan, wajib pajak hanya boleh menggunakan metode garis lurus. Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tidak berwujud dan pengeluaran lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun dilakukan juga dengan memakai dua metode yaitu metode garis lurus atau metode saldo menurun.
Wajib pajak harus menggunakan metode penyusutan yang dipilih secara konsisten.

*Disclaimer: Tulisan ini hanyalah pendapat pribadi penulis dan penulis dibebaskan dari segala tuntutan apabila terdapat kesalahan informasi.